Sejarah GKJ Majenang


BENIH ITU SUDAH TUMBUH DAN BERBUAH
(Untaian Perjalanan Gereja Kristen Jawa)
I. Pendahuluan
Kata “gereja”, melalui kata Portugis “Igreja”, berasal dari kata Yunani “kuriakon” : (rumah) Tuhan. Di samping itu dalam bahasa Yunani adakata lain yang berarti “gereja”, yaitu: “ekklesia”, yang artinya mereka yang dipanggil. Yang pertama-tama dipanggil oleh Kristus adalah para murid, Petrus dan yang lainnya. Sesudah kenaikan Tuhan Yesus ke sorga dan pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta, para murid itu menjadi rasul yang artinya mereka yang diutus. Rasul-rasul diutus ke dalam dunia untuk mengabarkan berita kesukaan yang merupakan Injil itu sendiri. Injil Tuhan Yesus Kristus diberitakan ditengah-tengah para bangsa yang belum pernah memperoleh pemberitaan Injil melalui para utusan. Sehingga pada akhir abad ke 18 dan awal abad 19 para utusan itu dikenal sebagai Zending dari benua Eropa.. pada jaman itu bangsa Belanda sadar akan tugas dan tanggungjawabnya atas bangsa Jawa. Oleh karena itu pada jaman tersebut dimulailah sejarah Pekabaran Injil di Jawa. Pada tahun 1811 Indonesia drebut oleh Inggris dan masuk dalam kekuasaan Inggris. Pada saat itu NZG (Het Nederlandse Zendeling Genootschap) bersama-sama rekannya di Inggris mengirim 3 orang pendeta ke Jakarta yaitu Pdt. J. Kam, Pdt.JC Supper, dan Pdt. G.Bruckner, masing-masing ditempatkan di Ambon, Jakarta dan Semarang.

Pdt G. Bruckner adalah orang yang pertama kali menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa dan selesai pada tahun 1823. Alkitab tersebut tidak dapat beredar di Jawa, karena pada tahun 1825 pecah perang diponegoro. Pangeran Diponegoro memberontak, karena bangsa Belanda dituduh menjadi musuh agama Islam. Pulau Jawa termasuk daerah Islam, oleh karena itu Pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa sama sekali dilarang. Alkitab sianggap sebagai buku yang menimbulkan kebencian pada golongan Islam

II. Bertumbuh dan Berbuah di Jawa Timur
Jawa Timur mendaat kehormatan  ketika benih Pekabaran Injil muncul di sini berkat pekerjaan para penginjil awam seperti Coenrad Laurens Coolen, Yohanes Emde, Paulus Tosari, Abisai Kunto, Mateus Anip dan Kyai Tunggul Wulung.
a.       Coenrad Laurens Coolen
Coolen yang mendapat ijin dari pemerintah colonial tertanggal 3 Juli 1827 untuk membuka lahan hutan ngoro di kawasan Wirosobo seluas 2.000 bau sebagai persil; dengan membawa sadiyah istrinya, anak-anak dan pembantunya Coolen pindah ke Ngoro sejak tahun  1987. Desa persil Ngoro yang subur ini akhirnya mengundang banyak orang untuk ikut tinggal di sana dan menjadi penggarap, diantaranya justru orang-orang yang mencari ketenangan dalam persembunyian di desa persil baru ini karena mereka dulunya bekas perampok, pencuri, penyamun, pembunuh dan sebagainya. Sebagai tuan tanah yang baik Coolen tidak tega dengan persoalan kejiwaan orang-orangnya.

Disamping itu Coolen dalam setiap akan membuka hutan atau menggarap sawah pasti mengajak para pembantunya untuk meminta berkat Tuhan, sehingga walaupun mula-mula cara ini masih penuh dengan kepercayaan lama diantaranya berupa penyembahan kepada Dewi Sri, namun akhirnya Coolen memiliki kesempatan mengajar kepada para pengikutnya bahwa permohonan semacam itu hanya pantas dijukan kepada Tuhan Yesus Kristus, Allah sumber segala berkat dan karunia.

Dan puncak dari pengarahan ini coolen mengadakan kebaktian minggu. Di situ Coolen bercerita tentang Tuhan Yesus serta isi Kitab Suci dan mengajak berdoa bersama, bahkan Coolen juga membuka perdebatan sehingga ketika tidak seorangpun mampu mengalahkan argumentasi Coolen maka Ngelmu bab Gusti Yesus akhirnya diakui sebagai ngelmu tertinggi yang patut mereka ikuti.

Berkat aktifitas empati Coolen atas orang-orangnya ini  di Ngoro lahir suatu jemaat Kristen yang khas, khas jemaat Ngoro. Khas karena kekristenannya sangat kental dengan dengan kejawaannya, tembang, wayang dan rapal, bahkan dengan yang berbau seperti Islam seperti dzikir, dan masjid. Coolen sendiri menyebut kekristenannya yang dibentuknya sebagai “Kristen Jawa”, bukan Kristen Landa”, kekristenan yang tidak membuang unsure-unsur Jawa dari para pengikutnya. Kristen yang tetap Jawa, dan oleh sebab itu sakramen yang dianggap unswur Kristen Landa tidak diberikan kepada pengikutnya supaya jemaatnya tidak terhanyut menyamakan diri dengan orang Belanda dan meningglkan cara hidup Jawanya sendiri. Prisipnya, sebagai orang-orang Kristen, orang Jawa itu harus tetap Jawa.

Namun jemaat tanpa sakramen ini akhirnya harus menghadapi kenyataan yang lain ketika beberapa pengikutnya bertemu dengan orang-orang wiyung – kelompok jemaat Kristen lain di Jawa timur yang mengenal sakramen – dan berbincang-bincang tentang sakramen. Akibatnya beberapa orang pengikut Coolen sepeerti Singotaruno, Ditotaruno, Tosari, Kunto dan Anip mencari dan mendapatkan sakramen baptis yang dilayani oleh Pdt. JH. Van Rossum pada 25 Desember 1844 di gereja Surabaya dengan nama baptis Jakobus Singotaruno, Abisai Ditotaruno, Paulus Tosari, Eliezer kunto dan mateus Anip.  Coolen marah ketika mereka pulang ke Ngoro dan mendengar kejadian ini. Sebagai tuan tanah, dia merasa dilangkahi oleh orang-orangnya dan ajarannya dilecehkan. Mereka akhirnya diusir dari Ngoro. Kyai Yakobus singotaruno dan paulus tosari atas pertolongan Emde tinggal di Sidokare, dekat Sidoarjo, menyatu dengan Eliezer kunto yang asal Sokare juga. Dengan keberadaan mereka ini muncullah kini kelompok Kristen Sidoarjo yang aktif dalam penginjilan, sedangkan Abisai Ditotaruno yang tidak biasa tinggal di kota memilih membuka hutan Kracil atau hutan Dagangan yang terkenal angker sekitar 10 Km dari Ngoro kea rah utara sebagai pemukiman baru yang nantinya terkenal sebagai Mojowarno (1845) dan Abisai Ditotaruno menjadi lurahnya.

Kelompok demi kelompok pengikut Coolen mencari dan mendapatkan baptisan dan juga diusir keluar dari Ngoro, sehingga nanti muncul kelompok sempalan jemaat “Kristen Jawa” Ngoro yang menerima baptisan, dan menjadi “Kristen Landa” menurut versi Emde.

b.      Johannes Emde
Berbeda dengan Coolen yang tidak bersedia membuang buadaya Jawa dari kekristenan pengikut-pengikutnya, Johanes Emde justru sebaliknya. Oleh sebab itu jika Coolen dan pengikutnya menyebut diri “Kristen Jawa”. Emde dan pengikutnya mungkin lebih pas disebut “Kristen Landa”.

Penginjilan Emde dilakukan dengan meminta anak-anaknya menyebarkan Injil Markus terjemahan Bruchner – yang diterimanya dari Brucner sendiri – kepada orang yang bisa membaca dipasar Surabaya, salah satu orang yang menerima Injil Markus ini adalah seorang suku Madura bernama Kyai Midah. Oleh kyai Midah buku ini dibawa kepada sahabatnya yang bernama Kyai Dasimah asal Wiyung., 8 Km dari Surabaya kea rah barat daya. Buku ini menjadi bahan percakapan  yang hangat dengan teman-temannya karena buku ini sangat berbeda dan mengundang keingintahuan. Berbeda karena isinya diawali dengan kalimat seolah Tuhan mempunyai anak. Salah seorang teman kyai Midah yang bernama Sadimah berkawan dengan Kyai Kunti dari Wonokitri yang ternyata pengikut Coolen. Pertemuan ini membawa dampak bahwa K Dasimah, Kyai Midah, dan sadimah menuju ngoro, berguru kepada Coolen.

Setelah mendapat rapalan Pujian (Doa Bapa Kami), racikan sedasa perkawis terjemahan Coolen dalam bahsa Jawa serta beberapa bagian Kitab suci yang lain mereka kembali ke Wiyung dan mengadakan kebaktian Minggu mencontoh apa yang mereka trima dari Ngoro. Lewat sebuah peristiwa unik kehidupan kelompok ini berubah, yaitu ketika anak pak Dasimah menjual rumput ke Surabaya, ternyata salah satu rumah yang ditandatangani itu adalah rumah Johanes Emde. Terjadilah dialog diantara mereka yang membuka mata hati Emde bahwa di dekat Surabaya yang telah  membentuk jemaat Kristen pribumi. Kyai Dasimah kemudian diundang ke Surabaya oleh keluarga Emde, diajak berbincang-bincang, dan akhirnya Emde pergi ke Wiyung untuk menyaksikan sendiri kehidupan jemaat Wiyung.

Setelah mendapatkan pengajaran agama Kristen dari Emde beberapa waktu, tanggal 12 Desember 1843 Dasimah dan kawan-kawan menerimam baptisan dari Pdt.AW. Meijer di Gereja Protestan Surabaya.

Karena kekurangtahuan Emde tentang kekristenan dan budaya, Emde memutuskan para pengikutnya ini dengan budaya Jawa melalui beberapa larangan yang berupa mendengarkan gamelan, menyelengarakan pertunjukan wayang, sunat, sklametan, membaca tembang, merawat kubur nenek moyang dan menghias kubur dengan bunga dabn tumbuh-tumbuhan. Sedangkan keharusan  terdiri dari meotong rambut pendek, meleopaskan ikat kepala di dalam gereja, melarang anak-anaknya bermain dengan kapir. Jadilah kelompok Wiyung sebagai jemaat Kristen yang berbeda jauh dengan jemaat Coolen; mereka patut disebut jemaat “Kristen Landa”. Untung bahwa nantinya berkat penanganan zendeling Jallesma dari NZG yang memelihara iman kelompok jemaat Jawa Timur, sedikit demi sedikit kesalahan ini diperbaiki sehingga mereka tidak lagi terasing dari budaya dan masyarakatnya.

c.       Para Penginjil Awam Pribumi
Salah satu dari pengikut Coolen yang diusir dari Ngoro dan semula tinggal di Sidokare adalah Paulus Tosari . Jika Ditotaruno kemudian tampil sebagai pemimpin duniawi, menjadi kepala desa di Mojowarno, desa Kristen yang dibukanya; maka setelah pindah dari Sidokare ke Mojokerto Paulus Tosari justru tampil sebagai pemimpin rohani, menjadi penginjil dan sekaligus menjadi guru jemaat Mojowarno. Dalam kepemimpinannya Mojowarno berkembang bebas dan penuh dengan semangat untuk berdikari. Keinginan yang utama.

Selain Paulus Tosari, pak Kunto Eliezer yang bekas dalang itu sangat rajin melakukan pekabaran Injil di desa-desa sekitar Sidokare, dan yang paling menarik adalah muridnya yang bernama Anip dengan nama baptisan Matius. Dengan tanpa beban matius Anip menjelajahi kawasan Kediri dan Madin. Karena pekerjaannya tumbuh kelompok bakal jemaat di desa Dodogan distrik Srengat, desa Warujayeng dan desa Sumber Gayang wilayah Nganjuk.

Disamping Anip, seorang yang bernama Tunggul Wulung setelah belajar sebentar pada Pdt. Jalesma, melakukan pekabaran Injuil disekitar Malang. Atas pekerjaannya tumbuh bakal jemaat di Dimoro dan Pelar dekat Kepanjen, di Jenggrik dan Penanggungan dekat Malang serta junglo dekat Pandaan.

III. Bertumbuh dan Berbuah di Jawa Tengah
Pekabaran Injil di Jawa Tengah  dimulai oleh para penginjil-penginjil awam. Berkat pekerjaan mereka tumbuh jemaat-jemaat Kristen di Bondo, Banyutowo dan Tegalombo (Kyai Tunggul Wulung), Jemaat Muara Tuwa (Johanes Vrede dan Laban), jemaat Tuksongo (Ny. Phillips), jemaat Banyumas (Ny. Onstrom), jemaat Wonorejo (Ny. La Yolle dan Petrus Sadojo) serta jemaat Karangjoso dan sekian puluh jemaat lainnya (Kyai Sadrach).

Merekalah para penginjil awam yang melahirkan bibit kawit jemaat Kristen di Jawa Tengah yang nantinya berkembang menjadi Gereja Kristen Jawa. Pada tanggal 3 Novenber 1849  NZG mengirimkan seorang utusan untuk dapat melayani di daerah Semarang, yaitu Pdt. W. Hoezoo yang kemudian tinggal dikampung Mlaten Semarang. Pada tahun 1853 ada 10 orang jawa di Semarang menerima sakramen Baptis dan pada tahun 1853 ada lagi 9 orang Jawa. Hal ini mengakibatkan perlawanan dari pihak orang Islam. Orang yang telah menerima pengajaran dari Pdt. Hoezoo dikucilkan dari keluarganya, mereka yang mau beribadah dihalang-halangi. Gedung gereja selalu diawasi dan orang-orang Kristen diperlakukan dengan keras sebagai “orang asing” dan dianggap kafir dan najis. Dengan adanya perlawanan itu maka jemaat Kristen di semarang tidak dapat berkembang.

Pada tahun 1853 Pdt. Hoezoo mendapat undangan untuk mengunjungi orang Jawa yang tinggal di kayuapu disebelah utara kota Kudus, di lereng bagian selatan gunung Muria. Desa itu pernah dikunjungi oleh orang Kristen dari daerah Jawa Timur yang dipimpin oleh Kyai Tunggul Wulung. Pdt. Hoezoo menjumpai orang-orang Jawa yang berminat belajar tentang kekristenan, oleh karena itu ia meminta kepada Pdt. Jallesma untuk mengirim orang dalam rangka memberi pengajaran tentang Tuhan Yesus. Pdt. Jallesma mengutus siswanya yaitu Asa Kiman. Asa Kiman ini seorang hamba Tuhan yang setia, tekun dan mau bekerja keras, bertahun-tahun membantu pekerjaan Pdt. Hoezoo.

Antara tahun 1850 dan 1860 merupakan waktu yang Tuhan mengaruniakan berkatNya bagi Jawa Tengah, dengan tiga daerah Jawa Tengah yang telah terbuka oleh penginjilan, yakni Salatiga, Banyumas dan Bagelen, Tuhan berkenan menggerakkan hati wanita-wanita Belanda sehingga merasa berkewajiban menyaksikan tentang Tuhan Yesus kepada orang Jawa yang diperkenalkan Tuhan kepadanya.

Di dekat kota Salatiga, terdapat tanah persil bernama Simo, pemilik tanah tersebut pada tahun 1853 adalah  D.D. Ie Jolle, istrinya bernama E.J Ie Jolle-de Wildt. Ia suka menceritakan tentang Tuhan Yesus kepada para pembantunya dan segenap pekerja di persil. Setelah ada yang mau menerima pengajaran itu, maka ia meminta Pdt. Jallesma mengirim utusan untuk membantu mengajar, dan Pdt. Jellesma mengirim Petrus Sadoyo. Persekutuan di Simo semakin berkembang dan kemudian semakin merambangh ke daerah pegunungan sebelah timur jalan besar jurusan Semarang Salatiga. Persekutuan Kristen tinggal di situ dan diberi nama pedukuhan Nyemoh.

Di Banyumas ada seorang wanita Belanda bernama Van Oostrom Philips yang memiliki perusahaan batik. Ia menuturkan Injil, kepada para pembantunya dan kemudian berselang meminta Pdt. Hoezoo untuk memberi pengajaran pada orang-orang mulai tertarik. Perjalanan PI di sini mendapat halangan dari Residen dan Gubernur karena adanya ketakutan perlawanan dari orang-orang Islam.

Di desa Ambal, karisidenan Bagelen, kabupaten Kebumen tinggallah seorang wanita bernama Ny Philips-Steven yang merupakan ipar dari Ny. Van Oostrom Philips di Banyumas. Ia menceritakan Tuhan Yesus kepada karyawannya dan kemudian meminta Pdt. Braams di Purworejo untuk membaptis orang-orang yang telah percaya. Pada tahun 1863 Philips dipindahkan ke kampung Tuksanga di sebelah barat laut Purworejo. Ny Philips tetap memberitakan Injil dan mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat di situ, maka keadaan orang-orang Kristen di Tuksanga makin bertambah-tambah karena berkat Tuhan.

IV. Bertumbuh dan Berbuah di Jawa Tengah Bagian Selatan
            Di Jawa Tengah bagian selatan, sesuai dengan pola yang umum, kelompok Kristen yang pertama dikumpulkan oleh usaha seorang Eropa. Kalu terjadi perluasan oleh orang Kristen Jawa itu sendiri. Orang Eropa tersebut ialah Ny. Phillips, di Banyumas, dan tokoh orang Jawa yang paling giat meneruskan gerakan yang telah dicetuskan oleh nyonya itu adalah Sadrach. Selama beberapa waktu, sadrach berada dalam lingkungan Tunggul Wulung dan setelah berpisah dengannya pun tetap dipakainya metode penyiaran ajaran Kristen dalam bentuk kejawen, atau lebih tepat, tetap dihayatinya dan diungkapkannya imannya sebagai seorang Jawa Tulen. Sebagai  seorang kiai, atau guru ngelmu, ia mendatangi rekan-rekan-rekannya, yaitu guru-guru lain, lalu mengundang mereka untuk beradu ngelmu. Kalau lawannya mengaku kalah, yakni diyakinkan tentang kekuatan “ngelmu” yang dibawanya, maka kiai itu bersama pada pengikutnya menjadi penganut ngelmu yang baru, yaitu agama Kriten sebagaimana dibawa oleh Sadrach. Lalu mereka dihantarnya kepada seorang tokoh zending untuk dibaptis. Metode seperti ini kerapkali dilakukan oleh Sadrach dalam PI nya, meskipun pada akhirnya berbenturan dengan zendeling lainnya. Satu-satunya utusan zending NGZV yang yang bersedia bergaul dengan Sadrach adalah J. Wihelm. Dengan berjalannya waktu, maka ada laporan ketidaksenangan rekan zending kepada Sadrach, maka 1891 NGZV mengirim Pdt. Lion Cachet ke Jawa. Keputusannya adalah menganggap Sadrach telah menyesatkan orang Kristen dan Pdt. Wilhelm tidak dapat mengatur Sadrach. Di sinilah awal keretakan Sadrach dengan zending.

Pada tahun  1894, gereformeerd mengutus Pdt. L. Adriaanse untuk ke Jawa. Persahabatan yang dibangun Pdt. L. Adriaanse dengan Sadrach pun dimiulai kembali, sehingga tanggal 30 April 1899 Kyai Sadrach melayankan perjamuan kudus di gereja Karangjasa.. Saat itulah pertama kali orang Jawa melayankan perjamuan kudus.

Pertumbuhan lainnya adalah berdirinya rumah sakit oleh dr. Scheurer dengan bantuan Sri Sultan Yogyakarta dalam hal pemberian tanah di Gondokusuman. Selain rumah sakit yang mulai ada, maka dalam hal pertumbuhan  jemaat semakin tampak pula, hal ini terlihar tahun 1900 di jemaat purworejo dan temon sudah diteghuhkan jabatan tua-tua dan diaken yaitu ; Timotius, Yakobus Sapin, guru Musa dan Sastrakarya.

Di Kebumen mulai tumbuh benih-benih orang Kristen karena pelayanan pdt. Bakker dengan cara membuka sekolah-sekolah di kota Kebumen dan Karanganyar serta membuka rumah sakit di desa Krakal. Selang beberapa waktu kemudian tumbuhlah benih-benih lain dengan berdirinya kelompok-kelompok jemaat di beberapa kota Kebumen, Karanganyat, Gombong, Prembun dan sekitarnya. Meskipun pada tahun 1906-1913 merupakan waktu yang kurang menggembirakan untuk pengembangan Injil, namun tahun 1913 pertumbuhan orang Kristen di Yogyakarta, Solo, Purbalingga, Wonosobo dapat dibanggakan yang dibarengi pula dengan berdirinya Sekolah HJS dan HCS serta pada akhirnya disertai pendirian sekolah lanjutan MULO di Solo, Yogyakarta dan Magelang. Sehingga sekitar tahun 1918 wilayah kerja Zending gereformed di Jawa Tengah Selatan  sudah lengkap, yaitu karisidenan Banyumas, Kedu yang meliputi Bagelen, Yogyakarta dan Surakarta.

Tanggal 29 April 1926 gereja Gondokusuman mempunyai seorang pendeta dari orang Jawa yaitu guru Injil Mas Sopater, kemudian tahun 1927 ada pertemuan pendeta untuk pembentukan Klasis-klasis, adapun klasis yang dibentuk ada 5 yaitu: Solo, Yogyakarta, Purworejo, Kebumen dan Purbalingga. Sehingga dengan berkembangnya jemaat secara significant pada saat itu maka diselenggarakannya Sidang sinode di Kebumen  pada tanggal 17 dan 18 Pebruari untuk jemaat Kristen Jawa  di Jawa Tengah bagian selatan. Pada tanggal 2 Juni 1932 di Yogyakarta diselenggarakan sidang Sinode kedua. Dalam siding itu diputuskan mengenai peraturan Gereja Kristen di Jawa Tengah bagian selatan. Sidang Sinode  di Purwokerto tahun 1936 memutuskan untuk mengabarkan Injil ke daerah Lampung Sumatera Selatan, karena banyak orang Jawa yang pindah ke daerah itu.

V. Bertumbuh Dan Berbuah di Jawa Tengah Bagian Utara
Persekutuan di Simo semakin berkembang dan kemudian semakin merambah ke daerah pegunungan sebelah timur jalan besar jurusan Semarang Salatiga. Persekutuan Kristen tinggal di situ dan diberi nama pedukuhan Nyemoh. Dalam perjalanannya jemaat di Nyemoh mengalami penyusutan sehingga tinggal 19 orang saja. Sehingga untuk menyelamatkan keadaan itu, maka tanggl 4 Juni 1869 datanglah Pdt. De Boer di Nyemoh. Karena penyertaan Tuhan dan kerajinan Pdt. Boer maka tahun 1876 mengalami kemajuan. Pdt. Boer melihat luasnya ladang pelayanan yang  belum tersentuh maka ia meminta jemaat Ermelo untuk mengirimkan utusan lagi. Tahun 1884 diutus 5 utusan yang kemudian membentuk Salatiga Zending (SZ) tahun 1888.

Salatiga Zending ini memperlihatkan ciri-ciri yang umum seperti orang pietis yang khas yakni tidak menerima gaji yang tetap, mereka hanya menerima seberapa keuangan yang masuk dari jemaat Neukirchen dan Utrecht.  Tahun 1904 Salatiga Zending meluaskan wilayah pelayanannya ke barat dan timur, bajkan di daerah timur sangat berpeluang untuk pekabaran Injil, misalnya di Rembang dan  Blora sehingga pdt. Barth untuk tinggal di bojonegoro. Sehingga tahun 1913 daerah kerja Salatiga Zending sudah meliputi seluruh Jawa Tengah Utara mulai dari batas tegal dengan Cirebon sampai dengan batas bekas karisidenan Rembang dan karisidenan Surabaya. Buah yang dapat terlihat yaitu dengan  didirikannya tempat khusus untuk perawatan  di Purwodadi, Blora dan Bojonegoro. Tidak hanya itu, didikannya juga sekolah calon guru injil di desa Ungaran.

Seusai perang dunia kedua, Jemaat Neukirchen mengutus beberapa pendeta lain untuk mendukung semua pelayanan yang ada di Salatiga Zending. Dalam perjalanannya pelayanan di area kerja Salatiga Zending orang-orang Kristen tidak menyerupai rekan-rekannya di Jawa timur dan Jawa Tengah bagian selatan dalam hal keinginannya untuk mandiri serta memerintah diri sendiri serta mencukupi kebutuhannya sendiri. Jemaat Kristen Jawa Tengah bagian utara pada umumnya miskin, masih lebih miskin dari saudaranya  dibagian selatan.

Untuk  menghubungkan para jemaat di wilayah-wilayah salatiga Zending, maka pada tanggal 23 Maret 1937 dibentuk Parepatan Agung. Persidangan yang pertama diselenggarakan di gereja Purwodadi dimana perkembangan dari pada Parepatan Agung ini pada tahun 1938 sudah ada 109 tempat yuang setiap minggunya digunakan untuk ibadah dan empunyai 13 orang pendeta.

VI. Gereja Kristen Jawa
a.   Buah itu menjadi Gereja Kristen Jawa
Gereja Kristen Jawa secara mandiri berjalan secara bertahap, dimulai dengan pendewasaan pepanthan-pepanthan gereja-gereja Jawa pertama kali terjadi atas gereja Purworejo (4 Pebruari 1900) tak lama kemudian disusul dengan pepanthan Temon. Kemudian dilanjutkan dengan pendewasaan kelompok Glonggong- Kebumen (3 Nopember 1911) dan kelompok Gondokusuman Yogyakarta (23 Nopember 1913). Setelah 26 tahun hanya gereja Gondokusuman yang pertama kali siap memanggil pendeta atas diri  Sopater pada tahun 1926 dari 17 gereja jawa yang sudah didewqasakan oleh zending yaitu Purworejo, Temon, Glonggong, gondokusuman, Solo, Klaten, Tungkak, Patalan, Candisewu, Mahelang, Kesingi, Palihan, Kebumen, Grujugan, Purbalingga, Grendeng dan Adireja.

Tahun 1927 jemaat-jemaat yang berdekatan mengadakan pertemuan  yang kemudian mendapat status menajsi klasis, pada tanggal 17-18 Pebruari 1931 jemaat yang sudah berdiri dendiri berkumpul mengadakan siding Sinode pertama. Dengan demikian lahirlah pasamoean Gereformeerd Djawi Tengah sisih Kidoel

Pada tahun 1938 Sinode GKJ memutuskan untuk melayani ke Sumatera Selatan dan akhirnya pada tahun 1952 menjadi klasis Sumatera selatan GKJ, dan pada tahun 1987 gereja ini berdiri sendiri dengan nama Gereja Kristen Sumatera Bagian selatan (BKSBS)

Pada tahun 1948 muncul pemikiran untuk mengadakan Sinode Kesatuan antara  Gereja Kristen Jawa Tengah Utara dan Gereja Kristen Jawa Tengah Selatan. Tetapi sebenarnya jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, khusunya dalam lingkungan GKJTS sudah berkembang pemikiran dan pendekatan untuk mengadakan kerjasana dan kesatuan dengan pihak GKJTU. Keinginan ini dapat diwujudkan tahun 1949 sampai tahun 1953. Namun karena latar belakang yang berbeda kondisi social pada waktu itu dan beberapa pertimbangan yang sangat kompleks, bahkan timbulnya konflik dan persoalan yang melibatkan banyak gereja, menjadikan keretakan hubungan yang mestinya tidak perlu terjadi, sehingga dengan terpaksa GKJTU dan GKJTS  harus berpisah lagi.

b.      Pemeliharaan Iman
Dalam upayanya untuk pemeliharaan iman  dibutuhkan tatanan yang jelas mau dibawa kemana gereja ini, sehingga disusunlah tata gereja yang mencoba untuk menjawab pergumulan jemaat guna mempertahankan eksistensi dari pada iman Kristen, sehingga dalam beberapa persidangan Sinode membahas beberapa permasalahan yang merupakan bentuk dari pada pemeliharaan iman  antara lain : Orang bukan Kristen ingin menjadi Kristen (mempunyai dua istri/wayuh), Perceraian dalam kehidupan Kristen (perzinahan dan disia-siakan suami), masalah adapt budaya (Sunat, wayangan), Masalah etika (orang madat, judi), masalah dalam kehidupan gerejawi/ibadah (Liturgi, kebaktian, pengakuan iman, Mazmur).

Untuk melaksanakan hal di atas maka dibutuhkan orang-orang untuk duduk dalam jabatan gereja guna mengatur pemeliharaan kehidupan keimanan jemaat Kristen yang telah ada, sehingga sebuah tatanan yang tertulis sangat dibutuhkan untuk mengatur jalannya pemeliharaan iman secara lebih teratur.

c.    Kesaksian
Adapun usaha yang dilakukan GKJ dalam bidang kesaksian sangat banyak sekali, dari  data yang ada dari Konsultasi Pekabaran Injil tahun 1962  diketahui sebagai berikut:
  1. Mengenai pemberitaan Firman secara langsung
  • Penambahan kader untuk melakukan saresehan-saresehan
  • Memakai RRI sebagai alatpemberitaan firman
  • Mempersiapkan tenaga untuk Sekolah Minggu
  1. Pelayanan PI di Sumatera
  2. Kesaksian dalam bidang sosial ekonomi
  3. Pendewasaan Jemaat
  4. Bidang sosial
  5. Kesaksian di bidang rumah sakit
  6. Perawatan rohani anggota militer
  7. Kesaksian dalam bidang persekolahan
  8. Pelayanan kepada pemuda dan mahasiswa
  9. Pelayanan PI di perguruan tinggi
  10. Pelayanan PI kepada wanita, buruh  dan tani
  11. Pelayanan PI dengan bacaan
  12. Pendidikan tenaga PI
VII. Meraih Buah di Banyumas
a.   Benih Tumbuh di daerah  Banyumas
Menginjak tahun 1933 , pelayanan di kawasan Purbalingga -  Banyumas dibagi dua, yaitu kelompo pertama meliputi gereja-gereja purbalingga, Karang Salam, Sambeng, Sokaraja, Klampok, Pengalusan, Kertayasa, Banyumas dan Karangsari (Bangsa) ditambah penggabungan jemaat Sadrach yang ada di Grujugan, Karanggedang dan Karangtawang ; dan kelompok kedua yang terdiri dari Purwokerto, Cilacap, Adireja, Sidareja,, Ajibarang, Jatilawang, dan Grendeng.

Gereja Purbalingga pada hari raya Kenaikan Tuhan Yesus ke surga tahun 1934 melayani Baptisan 28 orang dewasa dan 18 anak-anak, sedangkan Cilacap harus cukup puas dengan baptisan atas 18 orang dewasa dan anak-anak; dan pada penutup tahun itu pula di Purbalingga dibaptis 17 orang dewasa dan 11 anak. Suatu panenan yang patut disyukuri mengingat bahwa sejak 26 Januari 1932 Purwokerto ditetapkan sebagai prefektus sekaligus pusat agama Katolik atas karisidenan Banyumas, Bagelen, Wonosobo, Tegal, Pekalongan, disamping juga bersaing dengan pertumbuhan jemaat hasil semaian Bala Keselamatan, Advent, Pantekosta, dan sebagainya.

Tahun 1937 kawasan Purbalingga-Banyumas yang tergabung dalam Gereja-gereja Kristen  Jawa Tengah  (Tengah Selatan) berada dalam satu klasis yaitu klasis Banyumas yang memiliki warga gereja sekitar 2514 orang, telah tumbuh enam gereja dewasa yaitu Purbalingga (1915), Grendeng (1919), Adireja (1920), Purwoketo (1920), Cilacap (1929), Sidareja (1932), dan Klampok (1936) disamping kelompok-kelompok Sadrach. Semua gereja ini dilengkapi dengan alat Bantu pekabaran Injil berupa sekolah Volkschool (sekolah dasar 3 tahun), Vervolgschool (sekolah dasar lanjutan 5 tahun), Malaysche-Chineescheschool di Purwokerto dan Purbalingga, dan berbagai sarana lainnya disekitar gereja-gereja se Banyumas.

Pada tahun 1951 di bulan Agustus melalui sidang klasis Banyumas yang mengambil tempat di GKJ Banyumas terlahirlah 2 klasis : klasis Banyumas Utara, yang meliputi GKJ-GKJ yang ada di wilayah kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara dan klasis Banyumas selatan yang meliputi kabupaten Cilacap, sebagian Kawedanan Sumpyuh, kecamatan Kebasen (kab. Banyumas)  dan Langen (kab. Ciamis).

Dalam perjalannya GKJ-GKJ klasis Banyumas Selatan semakin berkembang menjadi semakin besar, hal ini ditandai dengan dewasanya pepanthan-pepanthan yang ada menjadi gereja yang dewasa, sehingga dalam kurun waktu 1951 sampai dengan tahun 1994 telah menjadi 15  gereja. Ada pun  GKJ-GKJ tersebut terdiri dibentaran sungai Serayu dan Citanduy antara lain :  GKJ Adireja, GKJ Bangsa, GKJ Bangkal, GKJ Cilacap,  GKJ Kroya, GKJ Karanggedang, GKJ Bandung, GKJ Gandrungmangu, GKJ Kawunganten, GKJ Kiaracondong, GKJ Majenang, GKJ Patimuan, GKJ Sidareja, GKJ Wanareja, GKJ Waringinsari.

Dalam sidang klasis Banyumas Selatan yang ke 67 di GKJ Hosiana Patimuan, GKJ Cilacap memberikan usulan untuk diadakan pembiakan klasis Banyumas Selatan. Untuk merespon usulan itu maka dibentuklah panitia guna pembiakan tersebut, banyak langkah dan kendala yang dialami, tetapi karena berkat dari pada Tuhan sendiri usulan pembiakan ini bisa diwujudkan pada tahun 2003 menjadi klasis Banyumas Selatan dan klasis Citanduy.

b.   Gereja di Klasis Citanduy
Klasis Citanduy pun menjadi klasis yang masih muda, dimana harus banyak belajar dari banyak peristiwa yang telah dan yang akan dilaluinya itu. Sejak lahirnya tahun 2003 klasis Citanduy ini yang berkekuatan 9 gereja ini  untuk tetap bertahan dalam berbagai-bagai tantangan, tetapi Puji Tuhan, meskipun acap kali angin menghantam klasis Citanduy ini tetapi karya Tuhan tidak dapat dibatasi. Dengan segala keterbatasannya ternyata ditahun 2006 klasis Citanduy mendapatkan tambahan saudara baru untuk berkiprah bersama dalam lingkup klasikal yaitu didewasakannya pepantahan Bandung Barat menjadi GKJ Bandung Barat pada tanggal 21 Pebruari 2006. Ada pun gereja-gereja yang ada di Klasis Citanduy ini berada di daerah aliran sungai Citanduy, dimana secara singkat dapat dipaparkan perkembangan  masing-masing gereja.


1.      GKJ Bandung  
Tahun 1926 an ada kelompok Kristen asal Jawa timur dan Jawa Tengah yang berkebaktian dalam bahasa jawa.Kebutuhan tenaga gereja untuk pelayanan orang Jawa di Bandung mendesak sehingga meminta guru Injil K. Tjokrosiswondo dari GKJW menjadi gembala. Tahun 1927 Gereja Kristen Pasundan (GKP) memanggil yang bersangkutan menjadi pelayan orang Kristen Jawa di Bandung dan ditahbiskan menjadi Pendeta GKP tanggal 18 Nopember 1934 untuk kelompok Kristen Jawa. Bersamaan dengan itu kelompok Kristen Jawa resmi didewasakan menjadi Gereja Kristen Jawa di Bandung, berada dalam naungan Sinode GKP. Karena berbagai kemungkinan kesulitan  jika tetap dalam Sinode GKP, dan kemungkinan untuk dapat lebih bisa mengaktualisasikan potensi kegiatan bersama GKJ akhirnya GKJ Bandung bergabung ke Sinode GKJ. Jumlah warga 1.857 jiwa.

2.      GKJ Kiaracondong
Dilahirkan dari Induknya GKJ Bandung dan kemudian menjadi dewasa tanggal 17 juni 1983, yang dimulai tahun 1926 adanya orang Jawa Timur (GKJW) dan Jawa Tengah (GKJ) berhimpun dalam asuhan GKP Bandung. Pada tahun 1950 ada beberapa pendatang yang bekerja di PT Pindad yang berhimpun dalam Kelompok Pemahaman Alkitab diwilayah Bandung Timur (Kiaracondong). Tahun 1961 warga yang berdomisili di Kiaracondong menyelenggarakan kebaktian sendiri, kebaktian dilakukan secara berpindah-pindah sampai akhirnya warga GKJ Bandung mampu membeli tanah dan kemudian dibangunlah “Rumah Kebaktian”. Dalam perjalannya kemudian pepanthan Kiaracondong menjadi dewasa tanggal 17 Juni 1983. Jumlah warga sebanyak 629 jiwa.

3.      GKJ “Sih Rahmat” Wanareja
Berawal dari pegawai perkebunan dan tenaga kesehatan yang ada di wilayah wanareja dan mereka beragama Kristen. Mereka itulah yang dapat dibilang sebagai cikal bakal tumbuhnya jemaat wanareja, perkembangan terus berlangsung meski perlahan, namun akhirnya menjadi penpanthan dari GKJ Sidareja. Pada tanggal 10 Juli 1951 berdirilah GKJ “Sih Rahmat” Wanareja. Ada pun jumlah warga 180 jiwa.

4.      GKJ Sidareja
Diawali tahun 1920 dengan datangnya 3 Keluarga Kristen dari Ajibarang, Purwokerto dan Pengalusan dalam rangka dagang. Dengan berdirinya Vervolg School tahun 1928, orang Kristen semakin bertambah. Tanggal 1 Agustus 1956 dibuka SD Kristen dan klinik kesehatan. Adapun jumlah warga sebanyak 636 jiwa dan di dewasakan tanggal 25 Oktober 1930.

5.      GKJ  Kawunganten
Didewasakan tanggal 6 Juni 1946, GKJ Kawunganten mengalami masa yang cukup panjang. Pertumbuhan  warga gereja disamping adanya warga Kristen datang dari tempatlain sebagai Pegawai Negeri (guru), juga karena adanya peristiwa G.30S-PKI. Ketika warga jemaat bertambah dan menyebar ke wilayah Jeruklegi dan Bantarsari, tenaga pelayan yang ada tidak mampu menjangkaunya, akhirnya Jeruklegi diserahkan ke GKJ Cilacap dan Bantarsari ke GKJ Gandrungmangu. Adapun jumlah warga sebanyak 316 jiwa.

6.      GKJ Majenang

7.      GKJ “Hosiana” Patimuan
Berawal dari kelompok keluarga yang dilayani GKJ Sidareja yang kemudian berkembang menjadi pepanthan.  Jumlah semakin bertambah, tetapi dengan  segala keterbatasan sarana dan SDM maka perjalanan Patimuan tidak sepi dari persoalan yang ada. Penataan terus dilakukan dan akhirnya di dewasakan pada tanggal 17 Jili 1967. Jumlah warga sebanyak 300 jiwa.

8.      GKJ Gandrungmangu
Pada tahun 1945 datanglah keluarga Kristen dari Karangglonggong Kebumen. Perjumpaan dengan orang Kristen di daerah Sidasari yang dihantar oleh Pdt. Soedarmadi dari Cilacap, mendorong orang Kristen untuk beribadah sendiri dan menjadi pepanthan dari Kawunganten. Perkembangan kekristenan didukung pula oleh Sekolah Kristen yang berdiri sejak 1958. Jumlah semakin bertambah sehingga pada tahun 1958 pepanthan Gandrungmangu resmi menjadi GKJ Gandrungmangu. Jumlah warga 246 jiwa.

9.      GKJ Waringinsari
Diawali Kring Langen (3 keluarga), berkebaktian diwanareja tahun 1952 an. Pada tahun 1953 dengan warga 9 KK dilayani kebaktian sendiri di rumah warga. Tahun 1965 menjadi 19 KK dan mulailah pendirian gedung gereja sederhana dan telah secara rutin dilayani oleh Majelis GKJ Wanareja/Meluwung. Pada tahun 1974 pepantahn dari GKJ Wanareja/Meluwung ini menjadi GKJ Langen. Seiiring dengan pemekaran wilayah pemerintahan, maka tahun 1987 sidang klasis menyetujui perubahan nama GKJ Langen  menjadi GKJ Waringinsari. Jumlah warganya sebanyak 144 jiwa.

10.    GKJ Bandung Barat
Merupakan bagian dari kelompok warga GKJ Bandung  yang berada di kelompok barat, dimana diantara jumlah warga gereja yang paling banyak adalah berada di kelompok ini. Tahun 1999 diadakan kebaktian padang di “Graha Spa”, sebuah tempat wisata ternyata kehadiarn warga di kelompok barat ini cukup mengejutkan, yaitu sebanyak 200 orang, sehingga dengan dasar inilah perjuangan menjadi pepanthan dimulai. Hal ini pun ditandai dengan diberikan peluang untuk meminjam ruang di Wingdiktekkal untuk beribadah, maka sebuah kesempatan emaspun tidak disia-siakan. Puji Tuhan tak seberapa lama kemudian tanggal 21 Pebruari 2001 kebaktian perdana kelompok Bandung barat dimulai. Tahun demi tahun dilalui, tepatnya tahun 2004 kelompok Bandung barat ditingkatkan menjadi Gereja pra dewasa yang pada akhirnya melalui Sidang ke 4 klasis Citanduy di GKJ Gandrungmangu tahun 2006 disahkan menjadi gereja dewasa. Tanggal 21 Pebruari 2006 dipilih sebagai tanggal pendewasaan Gereja Kristen Jawa Bandung Barat. Jumlah warga GKJ Bandung Barat sebanyak 269 orang.

VIII. Gereja Kristen Jawa Majenang
a.      Benih Itu Bertumbuh dan Berbuah di Majenang
Sebelum GKJ Majenang dewasa, GKJ masih bernama GKJ Wanareja – Majenang yang meliputi : Wanareja, Langgen, Meluwung dan Majenang.  Cikal bakal gereja Wanareja dimulai oleh kel Bpk Soepardi, Bpk Nirman, Bpk Martodikromo dan Bpk Mariun. Sedangkan cikal bakal GKJ Majenang dimulai oleh Bpk Soemitro.  Bpk Purwo, Bpk Pudjoprasetyo, Bpk D. Sutowasono, Bpk Paidi dan Bpk Surjono. Dengan segenap keluarga cikal bakal, baik di Wanareja dan Majenang  mengadakan kebaktian keluarga secara rutin secara bergiliran. Dengan demikian mulai ada aktifitas di dalam kehidupan Kristen, baik itu di Wanareja dan Majenang. Setelah ada keaktifan, datanglah utusan dari GKJ Sidareja sebagai Guru Injil Bpk Sumardi untuk meninjau keluarga-keluarga Kristen di Majenang terlebih di Karang tengah. Kebaktian keluarga makin diintensifkan dan seluruh anggota dewasa mengikuti Perjamuan Kudus di Sidareja.

Perkembangan orang Kristen di Wanareja dan Majenang semakin membaik maka diputuskanlah dibentuk Majelis GKJ Wanareja-Majenang tahun 1950 yang terdiri dari Bp Soepardi, Bpk Mariyun dan Bpk Nirman. Wilayah pelayanan sampai meliputi Meluwung, Langgen. Wanarena dan Majenang telah memiliki tempat gedung ibadah sendiri meski dalam bentuk yang masih meprihatinkan, meskipun demikian semangat beribadah semakin membesar. 

Pada tahun 1953 datang di Majenang Bpk T. Purwoatmojo dari GKJ Bangsa sebagai Guru Injil untuk melayani gereja di Majenang. Pada tahun 1958 memanggil pendeta untuk GKJ Wanareja – Majenang yaitu Bpk Sumarto yang berkedudukan di Majenang. Pdt. Sumarto hanya melayani selama 3 tahun kemudian pindah ke Jakarta atas kehendak sendiri. 

Pada tahun 1960 an kelompok Wanareja – Majenang mengadakan kesepakatan untuk mandiri bersama, memisahkan diri dari meluwung, dengan nama GKJ Wanareja -  Majenang  kemudian pada tahun 1963 memanggil Pdt. Paulus Manase untuk melayani GKJ  Wanareja – Majenang. Perjuangan terus dilakukan yang salah satunya adalah mendirikan gedung gereja secara permanent, sehingga tepat  Kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga tahun 1971 diresmikannya pemakaian gedung gereja. Dalam perjalanan beberapa bulan kemudian dirasakan perlunya gereja untuk mandiri dengan utuh maka pada tanggal 8 Agustus 1971 terjadi pertemuan di Majenang yang kemudian melahirkan kesepakatan bahwa Majenang akan dibiakkan dan diberi nama GKJ Majenang,  dewasa dari Induknya GKJ Wanareja – Majenang, sehingga dengan didewasakannya GKJ Majenang maka secara otomatis GKJ Wanareja – Majenang berubah menjadi GKJ Wanareja.

Agar tidak terjadi kevakuman tenaga pelayanan, maka  Bpk. R. Widyotomo menjadi pembantu pendeta untuk Majenang mulai tahun 1970-1977. Sebagai gereja yang sudah dewasa maka diperlukan tidak hanya pembantu pendeta, tetapi juga diperlukan seorang pendeta penuh waktu guna melayani GKJ Majenang, sehingga pada tahun 1978 Bpk. R. Widyotomo ditahbiskan menjadi Pendeta GKJ Majenang sampai tahun 2003.

b. Buah Itu Bisa  Dinikmati (Kesaksian dan Pemeliharaan Iman)

GEREJA KRISTEN JAWA MAJENANG
Kini dan Yang Akan Datang
b.1.  Latar Belakang
Berdiri dan berkembangnya sebuah gereja Tuhan sangat dipengaruhi oleh sebuah hubungan yang dibangun oleh gereja tersebut.  Baik hubungan yang dibangun oleh orang-orang Kristen gereja setempat maupun oleh orang-orang Kristen  di sekitarnya dalam wujud Pekabaran Injil. Demikian pula interaksi yang terjadi di lingkungan pelayanan GKJ Majenang.

Sejak adanya orang Kristen yang berdomisili di Majenang  dan sekitarnya tahun 1939 hingga sekarang dinamika perjalanan GKJ Majenang dalam pertumbuhan mengalami pasang surut, yang semestinya harus semakin berkembang menjadi besar karena Gereja Kristen Jawa  sebagai cikal bakal gereja  pertama di Majenang.

Tulisan ini akan mencoba untuk memperhatikan faktor pendukung maupun penghambat perkembangan Pekabaran Injil GKJ Majenang sehingga pada hasil akhirnya dapat melihat gambaran GKJ Majenang kini dan yang akan datang.

b.2.  PERSOALAN DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI

Peran GKJ  Majenang dalam Pekabaran Injil
Dengan menjadi dewasanya gereja-gereja Jawa, maka Pekabaran Injil dilakukan oleh Gereja sendiri. Pada prakteknya Pekabaran Injil oleh Gereja Jawa berfungsi membantu pekabaran Injil dari Zending. Sehingga pada umumnya strategi Pekabaran Injil Gereja  Kristen Jawa  Majenag dilakukan dengan metode Pembinaan keluar dan kedalam. yaitu: Untuk pembinaan keluar dilakukan dengan cara : Pendidikan.

Kota merupakan pusat strategi PI; ini didasarkan atas keputusan  sidang sinode Middelburg (1986). Alasan yang dipakai adalah bahwa kota merupakan pusat kehidupan masyarakat, sehingga ketika tumbuh cikal bakal kekristenan awal di Majenang maka ada secercah harapan kekristenan akan tumbuh dan berkembang pesat di wilayah ini. Pola PI  wujudnya adalah yang tidak langsung tetapi lebih bersifat berkesinambungan, ini berjalan melalui pelayanan Pendidikan berupa pendirian SD Kristen tahun 1957 dan SMP Kristen 1960 tetapi setelah peristiwa G 30 S/PKI tahun 1968 murid SMP semakin menyusut dikarenakan ada peraturan untuk warga Negara keturunan Cina tidak boleh mengelompok, akhirnya siswa SMP Kristen makin lama makin susut sehingga SMP tidak dapat beroperasi lagi sampai dengan tahun 1974. Pada tahun 1975 dibuka kembali dan di pimpin oleh Bpk. R. Widyotomo. Karena kondisi dan situasi SD dan SMP yang tidak memungkinkan untuk terus bertahan, maka tahun 1985 tutup dengan sendirinya.

Badan Kerjasama  Antar Gereja (BKSG)
Peran ini mencakup peran diakonia, hubungan dengan pemerintah, menjalin hubungan yang baik dengan Kaum Muslimin

Dalam perjalanannya ternyata GKJ yang ada di Majenang juga mengukir sejarah dalam tumbuh dan berkembangnya gereja. GKJ Majenang tumbuh dan berkembang sebagai gereja pertama di Majenang, dalam pertumbuhannya umat Kristiani yang semakin majemuk dikarenakan banyaknya warga pendatang dari berbagai tempat dan kemudian masuk dan berusaha di Majenang menyebabkan bertambahnya umat Katolik secara bertahap dan kemudian secara resmi muncullah gereja Katolik di kota Majenang.

Selang beberapa tahun kemudian berdirilah gereja Pantekosta yang kemudian bersama-sama dengan GKJ Majenang, Katolik mewarnai kiprah orang percaya di Majenang. Sehingga pada tahun 1970 sudah ada 3 gereja yang ditanam dibumi Majenang, Yaitu GKJ, Katolik dan Pantekosta. Dalam tahun-tahun 1975 gereja-gereja yang ada di Majenang dalam masa perubahan dan pembenahan di sana-sini, sehingga dalam tahun-tahun ini bentuk kerjasama yang dilakukan belum ada.

Tahun 1975 – 1985 merupakan masa-masa yang cukup sulit tetapi menjadi berkat bagi gereja-gereja yang ada di Majenang, termasuk pula GKJ. Tetapi ketika menginjak tahun 1985 Pekabaran Injil menjadi benar-benar sulit dilakukan, hal ini dikarenakan adanya aturan pemerintah tentang penyiaran agama, sehingga pemeliharaan pun semakin sulit. Berangkat dari hal ini, GKJ Majenang yang dalam hal ini Pdt. R. Widyotomo melihat pentingnya hubungan yang mesra dalam bentuk kerjasama  antar gereja-gereja di lingkup Majenang. Dihimpunnya para pemuka gereja oleh Pdt. R. Widyotomo  dalam wadah kerjasama ditanggapi secara antusias oleh Gereja Katolik dan Pantekosta, tetapi sekali lagi “mungkin” belum waktunya sehingga kerjasama itu belum dapat direalisasikan karena ada konflik internal dalam tubuh gereja Pantekosta.

Konflik intern Gereja Pantekosta antara Gembala (Yusuf goh) dengan warga jemaatnya kemudian melahirkan sebuah perpecahan yang berujung pada pendirian persekutuan yang kemudian menjadi gereja baru yaitu Gereja Bethel Indonesia di wilayah Majenang. Meski ada konflik, upaya wacana kerjasama tetap didengungkan, tetapi ada penolakan dari Pantekosta bila GBI diikut sertakan dalam wadah kerjasama itu.

Di sisi lain GKJ juga mengalami hal yang serupa, sekitar tahun 1980 an ada orang Ambon yang bergabung dengan GKJ, beberapa waktu kemudian ada warga Pantekosta yang pindah ke GKJ karena kless dengan pihak Pantekosta. Kiprah dari orang Ambon dan pasangan suami istri Tionghwa ini menyebabkan perjalanan persekutuan di GKJ menjadi semakin menggeliat, tetapi karena ada sesuatu hal akhirnya Orang Ambon dan Suami istri Tionghwa ini keluar dari GKJ dan membawa banyak warga untuk bergabung dengannya dalam wadah Gereja Bethel Tabernakel (GBT).

Seiring dengan berjalannya waktu, maka dari Semarang didirikan Bamukri (Badan Musyawarah Umat Kristiani) yang kemudian diinstruksikan agar setiap kabupaten dan kawedanan dibentuk badan yang serupa. Tetap dalam roh yang sama yaitu membangun kerjasama antar gereja, maka kesempatan ini digunakan oleh Pdt. Widyotomo sebagai pengagas kerjasama antar gereja sebelumnya. Sehingga pada tahun 1990 an Bamukri kawedanan Majenang terbentuk dengan Pdt. R. Widyotomo sebagai ketuanya dan Bpk. Naryo Kepaka SMK Yos  sebagai sekretarisnya. Kegiatan bersama umat Kristen dalam wadah Bamukri mendapat dukungan dari para pejabat yang kebetulan didominasi oleh salah satu partai politik. Di aras pemerintahan GKJ Majenang dan Gereja Katolik dikenal secara luas karena kiprahnya dan kedekatan hubungan dengan pemerintahan setempat.

Menginjak tahun 1990 an dan selanjutnya, Pdt. R. Widyotomo sadar bahwa Bamukri hanya digunakan sebagai kendaraan politik, sehingga lama-kalamaan Bamukris redup dan akhirnya mati dengan sendirinya. Meskipun demikian, perjalanan kerjasama antar gereja se kawedanan Majenang telah menuai hasil, baik itu berupa kegiatan bersama dalam bentuk natal, paskah, aksi social keluar untuk warga Aceh yang exodus ke daerah Cigaru). Sehingga dengan matinya Bamukri  maka dengan itu pula BKSG dibentuk tetapi sudah lepas dari politik.

Kerjasama ini kembali mengalami gelombang, karena ada permasalahan intern di GKJ yaitu lepasnya beberapa warga keluar dari GKJ dan kemudian mendirikan HKBP. Antara tahun 1997 ke sini beberapa warga GKJ  dari suku Batak menginginkan untuk beribadah sendiri dengan jalan mendirikan HKBP di Majenang dengan induk di Cilacap. Berdirinya HKBP ini hendak menambah ramai  ramai warna gereja-gereja yang ada di Majenang , tetapi ketika HKBP mau mendirikan gedung gereja dan ternyata tidak mendapat ijin dari lingkungan sekitar ditambah lagi perpindahan orang Batak dari satu tempat ke tempat lain mengakibatkan HKBP tidak dapat bertahan lama, sehingga tidak ada informasi resmi tentang bubarnya HKBP. Kebanyakan warga HKBP sekarang bergabung dengan gereja Katolik, Pantekosta, Betel Indonesia.

Meneruskan Bamukri yang telah tidak ada, maka tahun 2002 lingkup kerjasama gereja-gereja diperkecil menjadi setingkat kecamatan Majenang  saja, kerjasama dalam BKSG Majenang dapat terlihat dalam upaya rekonsiliasi antara gereja Pantekosta dengan Gereja Betel sepeninggalnya Pdt. Goh dari Pantekosta.

Meski tersendat dan tertatih-tatih kerjasama itu masih tetap berlangsung.  GKJ menjadi pionir dalam menetaskan inisiatif untuk melakukan silahturahmi  antara gereja dengan pemerintah dan tokoh-tokoh agama se kecamatan Majenang sampai sekarang.

Pada tahun 2003-2004  ada permasalahan yang timbul yaitu permasalahan GKJ Majenang yang kemudian munculnya GKI Ajibarang Pos Karangpucung, demikian pula gereja Pantekosta juga mengalami krisis yang sama dan Gereja Betel Indonesia dan Katolik juga mengalami krisis yang sama, meskipun demikian kegiatan bersama antara gereja tetap berjalan antara lain dengan diadakan Natal bersama. Perjalanan gereja yang tak henti dari konflik yang hampir bersamaan maka peran BKSG begitu sangat dibutuhkan sebagai sarana penghubung antar gereja, sehingga ketika masalah masing-masing gereja sudah mereda maka mulai tahun 2005 diadakan silahturahmi pada pada waktu Idul Fitri guna menghormati umat Islam. Pada waktu Natal 2005 diadakan bingkisan natal bagi khalayak umum.

Kepadatan kegiatan masing-masing gereja dalam mengurus dirinya masing-masing menyebabkan kegiatan BKSG Majenang cuma dalam tanggal-tanggal gerejawi terkhususnya Natal. Pengurus BKSG yang sekarang dipegang oleh Pdt. Widyotomo dari GKJ, Bpk Nico dari Katolik dan Bpk Weko dari Pantekosta.  Ada hal-hal yang dibatasi oleh BKSG yaitu ketika ada permasalahan intern dalam gereja anggota BKSG dan bila BKSG diminta maka baru akan turun, bila tidak diminta maka dianggap mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri.

Dari sini dapat diambil benang merah bahwa GKJ Majenang dalam kiprah BKSG mempunyai peran yang sangat tinggi. Peluang untuk menjadi motivator terhadap gereja-gereja lain di sekitarnya mneyebabkan GKJ Majenang  seringkali menjadi pioner penggerak bagi gereja-gereja di sekitar Majenang untuk melaksanakan kegiatan.

Adapun bentuk pembinaan ke dalam yang digunakan adalah :
Penanaman Iman
Pembinaan yang dilakukan adalah bagi beberapa orang warga yang yang mulanya dari Islam mau menjadi anggota gereja, hal ini dilkukan dengan  katekisasi. Adapun pembinaan lainnya berupa pelayanan-pelayanan dalam Komisi-komisi yang telah ada, baik itu Komisi  Pemuda, komisi Wanita, Komisi Anak, Komisi Rogo rumanti, Komisi Dewasa, Komisi PI dan Komisi Beasiswa

Perkunjungan Keluarga
Usaha ini dilakukan agar jemaat senantiasa mengingat bahwa melalui kehidupan keluarga yang baik mereka dapat menjadi saksi bagi Kristus. Keluarga sebagai basis  pertumbuhan iman sehingga dapat menjadi saksi bagi sesamanya.

Potret Majenang
Berbicara mengenai GKJ Majenang yang jumlahnya hanya 77 KK dengan jumlah jiwa 194 orang maka kita dapat melihat peta Kondisi daerah Majenang secara extern dan intern. Secara ekstern bahwa Majenang merupakan wilayah transit, perbatasan antara Jawa tengah dan Jawa Barat dan bisa berpengaruh pada bidang ekonomi, social, politik maupun budaya. Majenang merupakan basis bagi agama Islam, dengan adanya banyak pondok pesantren juga ada beberapa gereja yang berdiri. Wilayah Majenang juga terdiri dari beberapa suku dan budaya yang berbeda.

Secara intern maka dapat kita ketahui sebagai berikut: secara social ekonomi warga gereja dari kalangan menengah ke bawah, dimana ada diantara warga yang tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga lebih bergantung kepada pola bantuan dari luar dan hal ini memungkinkan membentuk karakteristik warga jemaat GKJ Majenang masih berbudaya untuk dilayani dan belum mau untuk melayani. Di sisi lain jemaat GKJ Majenang memiliki potensi untuk berkembang ke arah semua bidang menuju yang lebih baik meskipun rumah warga satu dengan yang lainnya berjauhan.

Dari potret di atas maka dapat diketahui tantangan dari dalam gereja yaitu:
Masih adanya warga jemaat yang masih mengharapkan bantuan terus menerus menjadi penghambat untuk maju.
Warga GKJ Majenang yang terdiri dari berbagai macam suku, maka diperlukan pula penyesuaian budaya.
Warga GKJ Majenang  tidak semua anggota keluarganya menjadi warga GKJ Majenang, sehingga misalnya pihak orang tua meninggal, maka generasi penerusnya sudah tidak ada lagi.
Ada beberapa warga gereja yang kurang menyadari tugas dan panggilannya untuk melayani sehingga berpotensi untuk diprovokasi yang mengakibatkan perpecahan.
Masih terdapat orang Warga jemaat yang sikap hidupnya tidak sesuai dengan iman Kristen.
Program PI yang memang belum terarah dan berkesinambungan
Banyaknya warga yang hidup menengah ke bawah, sehingga sangat berdampak sekali dengan keberadaan gereja di masa yang akan datang

Warga Majenang
Pergumulan gereja di desa Jenang untuk mengembangkan diri  pasti akan mengalami factor yang mendukung perkembangan tetapi juga akan ada factor penghambat perkembangan. Dari jumlah warga Jenang dapat kita lihat seperti di bawah ini : (Data Statistik Desa Jenang  per Agustus 2006)

1. Islam           sebanyak 14.365 jiwa
2. Kristen        sebanyak      145 jiwa
3. Katolik        sebanyak      160 jiwa
4. Hindu          sebanyak          4 jiwa
5. Budha         sebanyak          7 jiwa

Dari     data statistik bulan Agustus 2006 warga desa Jenang  berjumlah 14.681 jiwa orang Kristen yang ada di Majenang, warga GKJ Majenang yang berdomisili di desa Jenang sebanyak  58 jiwa. Jadi, jika dilihat prosentase jumlah  warga yang ada maka keberadaan warga GKJ Majenang  sangat minim sekali, sehingga dari jumlah jiwa orang Kristen yang minim sekali dibanding umat beragama lain, ditambah lagi bila dibandingkan dengan jumlah warga GKJ Majenang dengan jumlah orang Kristen keseluruhan yang cuma  1,091  %  maka dapat dipastikan ada tantangan dari luar GKJ Majenang yang cukup berat yaitu :

Pasifnya gereja-gereja tetangga untuk diajak bergaul bersama, seperti terjadi sekat antara gereja satu dengan  gereja yang lain. Ada pun kemungkinannnya untuk diajak kerjasama di dalam kegiatan tahun gerejawi baru akan bersedia, misalnya : aksi social Natal.

Fanatisme yang sempit dari beberapa golongan agama tertentu yang  seringkali mendiskriditkan kekristenan dengan menyebarkan pamlet anti Kristen. Hal ini dimengerti karena Majenang pernah menjadi basis Masyumi pada masa lalu.

Adanya aturan dari Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 tertanggal 21 Maret 2006 tentang pedoman Pelaksanaan tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat sehingga menyulitkan  pengembangan Pekabaran Injil.

Strategi Gereja
Dalam upaya meningkatkan pemberdayaan warga dalam Pemberitaan Penyelamatan Allah.. Maka dalam Tata Laksana sudah diatur dalam Pasal 38 tentang pelaksanaan Pemberitaan Penyelamatan Allah maka sangat perlu sekali diadakan pemahaman yang benar akan muatan Tata laksana yang baru ini sehingga tidak akan menimbulkan ekses yang negative.  Ditambah pula dengan muatan Pokok-pokok Ajaran Gereja bab lima tentang orang percaya dan kehidupan manusia, Minggu ke 21 pertanyaan nomor 214 dan 215 tentang sikap orang percaya terhadap kebebasan memilih dan mengamalkan agama serta kebebasan setiap individu untuk menentukan agama yang dianutnya. Sehingga dengan batasan seperti ini seyogyanya  pelayanan penyelamatan atau PI kita bernaung dan tunduk akan PPA dan TAGER/TALAK yang merupakan  mengejawantahan dari Alkitab itu sendiri. Maksudnya adalah dengan cara lain tanpa harus ada maksud untuk mengkristenkan orang lain kita tetap dapat melakukan tugas kita dalam melaksanakan karya penyelamatan Allah.

Ada pun strategi  pelayanan ke depan yang harus dibangun guna menghadapi semua tantangan jemaat dan masyarakat ke depan ialah ::
Membangun hubungan yang erat bahkan dalam bentuk kerjasama dengan pihak lain (warga disekitar Gereja) agar gereja tidak diasumsikan tertutup dengan pihak  luar.
Pembenahan manajemen gereja, sehingga dengan adanya pembenahan maka semua program yang telah diputuskan dapat dikontrol  pelaksanaannya. Jika kebutuhan warga terpenuhi maka akan membangun kepercayaan warga terhadap para pelayan gereja.
Program yang ada disesuaikan dengan kebutuhan jemaat
Gereja harus sadar, bahwa gereja dikelilingi oleh warga yang  berbeda maka harus melibatkan diri di dalam berbagai uipaya desa dalam memajukan masyarakat dan pembangunan desa.
Membina secara terprogram terhadap seluruh potensi yang dimiliki warga jemaat, sehingga warga jemaat mulai dari anak-anak, remaja sampai dewasa sungguh-sungguh memahami tugas dan panggilannya untuk melaksanakan Pemberitaaan Penyelamatan Allah.
Mendayagunakan aset yang telah ada, misalnya dengan mendirikan perumahan dan poliklinik di bekas tanah SMPK
Memikirkan dengan segera peningkatan ekonomi jemaat agar tidak lagi ketergantungan, karena hal ini juga sangat berkaitan dengan keberadaan gereja.
Kondisi warga yang berjauhan dan banyak yang tidak memiliki kendaraan, sehingga untuk melaksanakan kegiatan gereja terhalang dibutuhkan sarana transportasi tetapi juga menghasilkan pemasukan bagi gereja, misalnya : dengan adanya angkot. Pagi untuk cari penumpang, sore untuk kegiatan gereja.

IX. Kesimpulan dan Penutup
Gereja Kristen Jawa dalam perjalannya selalu bertumbuh walau kadang banyak kerikil-kerikil tajam mengahadang, tetapi derap langkah bertumbuh dan kemudian berbuah di bumi persada tercinta ini terus berkumandang di hati dan setiap langkah gereja Tuhan. Gereja bukan buatan manusia, melainkan Allah sendiri yang telah memulai karya-Nya melalui setiap orang yang dipanggil untuk melaksanakan kehendak-Nya di dunia.

Demikian pula GKJ Majenang dalam setiap derap langkah perjalanannya yang tidak pernah lepas dari permasalahan, tetapi Tuhan tetap menjaga dan memelihara, hal ini tampak dari semakin meningkatkan kesadaran seluruh komponen jemaat untuk bangun dari tidurnya dan kemudian belajar untuk menapaki hidup dalam fajar yang telah menyingsing. GKJ Majenang sekarang ini mempunyai potensi yang amat besar bila ingin maju, sarana dan sumber daya manusia serta dana untuk sekarang ini sangat besar bila mau di gali. Penggaliannya itu harus tepat guna bagi peningkatan ekonomi jemaat, tetapi terlebih dari pada itu jalinan terhadap lingkungan disekitar gereja dimana gereja hidup dan tinggal harus pula mampu menjadi berkat tidak hanya bagi warga jemaat saja melainkan bagi warga di sekitarnya. Kehidupan GKJ Majenang di masa yang akan datang tergantung pengelolaan sekarang ini, PI dan pengelolaan yang baik juga akan berdampak pada kelangsungan  hidup dari pada gereja.

Pustaka :
1. Agenda Gereja Kristen Jawa, Sinode GKJ, Salatiga, 2005
2. Buku Kenangan, Pembiakan Klasis Banyumas Selatan dan Klasis  Banyumas Selatan dan Citanduy, 2003
3. Buku Kenangan Kebaktian Pendewasaan Pepanthan Bandung barat Gereja Kristen Jawa Bandung, Gereja Kristen Bandung Barat, Bandung, 2006
4. Berkumandang Suara dari Seberang
5. Data Statistik desa Jenang  bulan Agustus 2006
6. Hadi Purnomo, et al (pny), Benih Yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, TPK , Yogyakarta, 1986.
7. Harnadi, Sejarah Klasis Banyumas Selatan, 2006 (Stensilan)
8. J.A.C. Rullmann, Zending Gereformeerd di Djawa Tengah, Zendingscentrum Geredja Gereformeerd, Baarn.
9. Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, BPK, Djakarta, 1966
10. Potret GKJ Majenang, Majelis GKJ Majenang, 2005
11. R. Widyotomo, Sekilas Sejarah Gereja Kristen Jawa Majenang  (Stensilan)
12.S.H. Soekotjo, Paseksi Sejarah Gereja Kristen Jawa, Lembaga Studi dan Pengembangan Sinode GKJ, Salatiga, 2006
13. Surat Pernyataan Bersama NU, PGI, KWI tanggal  27 April 2006
14. T.A.H. Jati, Tugas Pembimbingan
14. Van den End, J. Weitjens, Ragi Carita 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000.
15. Vand den end, Harta Dalam Bejana, BPK Gunung Mulia, Jakarta

No comments:

Post a Comment